Kamis, 17 Mei 2012

Pertemuan

Diposting oleh Unknown di 16.45

Pagi ini Jakarta lembab, tak seperti biasanya. Hujan turun kembali ditengah musim kemarau. Cuaca tahun ini memang terasa aneh. Tak bisa di duga apa maunya. Rhea siap menenteng payung untuk pergi ke kampusnya. Perjalanan kaki yang panjang ditengah beceknya jalananan menuju kampus. Dibawanya payung dan dibukanya di depan kos. Dilihatnya Dion sudah berada tepat di depan pintu pagar kos Rhea. Dihampirinya Dion yang tengah berada didalam mobil.

“Mau bareng nggak?” tawar Dion.

“Kaga ah, gue jalan kaki aja...” tolak Rhea.

“Beneran nih, gak mau terima gaji?” goda Dion.

“Wah kalo yang itu gue mau.” Tanpa pikir panjang Rhea langsung membuka pintu mobil dan masuk kedalam mobil sedan milik Dion.

“Cekatan lu, kalo ngomongin soal duit... lagian kaga bisa lu jual mahal sama gue.” Canda Dion lagi. Rhea hanya tersenyum geli melihat tingkah Dion yang menjulurkan lidahnya di depan Rhea.

I’ve been spending all my time...Just thinking about you... I don’t know where to.. I think I’m falling for you..
Terdengar suara ringtone dari hape Dion yang bergetar keras di saku celannya.

“Halo... Iya bu... Iya... Terimakasih Bu.. “

Wajah Dion berubah senang setelah mendapati telepon dari seorang wanita yang dipanggilnnya ‘Ibu’. Rhea cengar cengir sendiri melihat Dion yang berwajah senang. Pasti ada tambahan uang saku, pikirnya.

“Re, Gue naik pangkat jadi manager di perusahaan gue. Lagian ada direktur baru yang ngurus di perusahaan cabang. Dan gue ditempatin di cabang. Jadi tambah deket deh sama lu...” Dion tersenyum lebar . ”Kan jadi ada yang bantuin kalo dapet banyak job...” tambahnya.

“Yang kemarin aja belum lu bayar, pake tambah job segala.” Rhea tersenyum sambil menjabat tangan Dion 

“Selamat ya.. pak manager Dion Anggara Putra.”

“Gue traktir deh entar bis balik kuliah.” Dion membalas jabatan tangan Rhea yang sedari tadi mengantung ditengah.

“Lama banget jabatnya. Pegel tau...”

“Iya iya.. sori ..” balas Dion nyengir.

Jalan menuju kampus terasa jauh bagi Rhea. Rhea seperti buah melon yang kehilangan sarinya. Tubuhnya tetap berada di mobil Dion. Namun pikiranya jauh menerawang kearah luar. Sekilas terbesit pikiran tentang keadaan temanya, Tifa. Apakah dia baik-baik saja?dimana ia sekarang? Suah seminggu sejak kejadian itu, Rhea tak pernah bertemu dengan Tifa. Dia seperti diculik oleh alien luar angkasa dan dibawa ke suatu planet antah berantah, hilang dan tak ada kabar.

“Lo kenapa Re?” tanya Dion “Gak enak badan?” tambahnya. Rhea tetap bungkam tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mulutnya seperti terkunci oleh benda hitam yang masuk dalam kerongkongannya, berat dan lesu. Dion tak menyadari apa yang sedang terjadi dengan teman dekatnya, sekaligus wanita yang ia kagumi sejak pertama bertemu. Namun, ia tak pernah mendefisinikan rasa yang ia alami sebagai rasa cinta kepada sosok hawa, belahan jiwa yang agung. Hanya perasaan kagum dengan seorang teman yang selalu ada saat ia jatuh maupun ia utuh. Dion melirik ekspresi Rhea yang sedari tadi seperti tak mendengarkan perkataannya. Dion menghela nafas panjang dan mengulang kalimat yang masih menggulung dalam kerongkongannya.

“Lo kenapa Re?” tekan Dion.

“Gak papa. Gue turunin di pertigaan situ aja.” Jawab Rhea malas sambil menunjukkan arah pertigaan lingkungan kampusnya. Tanpa pikir panjang Dion langsung kearah yang ditunjukkan Rhea.

“Sampai deh, tuan putri...” goda Dion. Rhea masih tanpa Ekspresi, membuka pintu dengan senyuman datar.

“Senyum yang lebar donk.. entar kan dapet bayaran...” tambah Dion.

Dion membuka kaca jendela sambil melambaikan tangan. Rhea membalas lambaian tangan Dion. Mobil sedan Dion berlalu kearah luar kampus. Rhea berjalan menuju lantai 3 gedung fakultas teknik jurusan teknik sipil. Lorong-lorong yang ia lewati terasa sepi dan sunyi. Para mahasiswa semester bawah sedang mengikuti kuliahnya dengan anteng. Terlihat dari jendela luar ruangan seorang sedang melambaikan tanganya kearah Rhea. laki-laki itu berperawakan tinggi kurus. Guntur nama laki-laki itu. Rhea membalas lambaian tangannya dengan cengiran nya.

***
Meja Pak Hang masih tertata rapi, tak terlihat batang hidung beliau pernah duduk di kursi ini sejak pagi tadi. Tak ada tanda-tanda Pak Hang datang ke kampus hari ini. Ini terlihat sangat aneh dari biasanya. Pak Hang adalah dosen terajin di kampus ini, walaupun umurnya masih muda namun kinerja nya dalam membawakan bahan perkuliahan mahasiswa sangat istimewa. Rhea mulai mengetik nomor telepon Pak Hang. Perlahan suara langkah kaki mendekati meja Pak Hang. Pak Sunu, OB yang sering membersihkan kantor dosen disini.

“Permisi Pak...” sapa Rhea

“Iya , Mbak ada apa?” Pak Sunu memandang wajah Rhea sambil meletakkan sapu nya di dekat meja.

“Pak Hang kemana ya pak?”

“Oh, Pak Hang sedang ke luar kota mbak . Katanya ada semir semir apa gitu mbak...” Pak Sunu mengaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Seminar ?” Rhea terkekek melihat tingkah laku Pak Sunu yang salah tingkah menyebutkan nama.

“Iya itu Mbak...”

“Oh gitu Pak, ya udah deh pak makasih ya pak...” Rhea meninggalkan ruangan Pak Hang. Dari kejauhan terlihat Guntur mendekati Rhea.

“Ngapain lu di kampus.. abadi abadi lu...” sindir Guntur.

“Ye.. yang abadi si elu...” bales Rhea.

Rhea duduk di kursi Mie ayam Bu Atun. Warung mie ayam murah deket kampus. Walaupun harus berjalan keluar kampus yang cukup jauh, namun tempat makan Bu Atun gak ada matinya. Mie ayam yang dijual disini tanpa bahan pengawet ataupun pewarna apapun. Rasanya yang menggoda dan harga nya cukup murah untuk mie ayam di daerah Depok dan sekitarnya yang cukup mahal. Rhea duduk di meja sebelah pojok. Di meja ini cukup sepi karena hanya ada dia dan Guntur. Rhea mengaduk –aduk mie ayam bakso yang telah dipesannya.

“Ngalamun lagi Re?” Pertanyaan Guntur menghidupkan kembali otak Rhea yang sedari tadi pgi rada gak konek. Rhea tersentak dan menambahkan saus dan sambel ke dalam mangkuk mie ayam baksonya.

“Nggak kebanyakan tuh Re...” tambah Guntur. Rhea tersenyum melihat tingkahnya sendiri yang memasukkan sambel terlalu banyak.

“Re,Re.. ada masalah apaan si , sampe sebegitu-begitunya?” tambahnya lagi.

“Gak ada apa-apa Tur, Cuma kangen rumah aja...” jawab Rhea sekenannya.

“Ya, pulang lah Re.. lagian skripsi lu kan kurang dikit lagi.” Guntur memasukkan mie ayam terpanjangnya kedalam mulutnya yang menganga penuh tanda kelaparan.

“Laper banget lu Tur?”

“Yoi, dari tadi pagi gue belum makan... biasa anak kos yang gak punya duit.” Rhea tertawa geli mendengar celotehan temennya.

“Ya udah deh, gue bayar dulu... gue mau pulang soalnya. Mupung masih banyak rejeki nih gue..” kata Rhea bangga.

“Dewi Rhea emang bener-bener top markotop.” Puji Guntur.

Rhea tersenyum dan melangkahkan kaki menuju Bu Atun yang sedari tadi duduk di meja kasir. Bu Atun tersenyum melihat Rhea, Rhea pun membalas senyum Bu Atun. Seorang pria mendekati meja kasir. Harum parfum mask laki-laki itu tercium sampai ke hidung Rhea. Rhea melirik ke samping kanan nya. Laki-laki itu terlihat tinggi , putih dan berisi. Dia memakai hem merah dan kaos hitam didalamnya, sepatu kets dan tas punggung yang disampirkannya di sisi kanan lengannya. Rhea tersenyum ke arah laki-laki yang ada disamping kanannya. Laki-laki itu membalas senyum Rhea. terlihat kehangatan di senyum laki-laki itu.

“Bu, jadinya berapa? Mie ayam bakso dua, sama teh anget nya dua.” Kata Rhea

“Dua puluh lima ribu , mbak..” Rhea mengorek-ngorek isi tasnya, mencari senuah benda kecil yang selalu di bawanya. Dompetnya. Astaga, dia lupa tak membawa dompetnya.

“Ada apa Mbak?” tanya Bu Atun.

“Dompet saya ketinggalan Bu...bentar ya bu, saya tanya teman saya dulu.” Rhea buru-buru menghampiri Guntur. Mendengar cerita Rhea wajah Guntur langsung memucat. Ya, Rhea pun tau Guntur sedang tak bawa uang sepeserpun di dompetnya. Mereka berdua berjalan menghampiri Bu Atun yang sedari tadi menunggu perdiskusian antara Rhea dan Guntur.

“Maaf Bu, saya gak bawa dompet. Temen saya juga lupa gak bawa dompet bu.” Kata Rhea menunduk meminta maaf.

“Gak bawa dompet kok seragaman Mbak...” Rhea dan Guntur nyengir ke arah Bu Atun supaya diampuni kesalahan mereka berdua. “Sudah mbak, tadi udah dibayarin sama mas mas yang tadi pake baju merah itu...” Rhea tersentak mendengar kata Bu Atun. Lantas, bagaimana ia sangat berterimakasih dengan laki-laki itu?siapa dia?tinggal dimana dia?apa dia satu kampus dengannya?

***

Sepanjang perjalanan Rhea hanya memikirkan sosok misterius laki-laki yang ditemuinya tadi. Dalam hatinya ia akan membayar utang dua puluh lima ribunya . Malam ini tak ada bintang muncul di atap langit bernama Jakarta. Rhea terlihat kelelahan membuang sampah di dekat trotoar jalan. Cafe tempatnya bekerja part time terlihat sangat lenggang. Dari hari ke hari pemasukkan terlalu sedikit daripada pengeluaran. Ia baru beberapa bulan ini bekerja di Cafe budhenya yang tinggal di Jakarta. Selain menambah uang jajan pekerjaan ini juga dapat membawa mimpi-mimpinya kembali kedalam pelukannya. Harum kopi selalu membawanya akan kampung halamannya yang ia rindukan. Hawa yang sejuk harum kopi  di malam-malam dingin dan tentu di temani dengan buku-buku novel yang disukainya. Ia rindu dengan kapung halamanya. Jogja.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Kopi Gudeg Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting