Tuhan adalah Fisika Kuantum?
Judul buku : Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama Penulis : Ian G. Barbour Penerbit : Mizan Halaman : "Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan Bumi."
--Kejadian I:1
"Tetapi, tak ada seorang pun yang melihatnya."
--Steven Weinberg, (The First Three Minutes, 1977)
Setiap kejadian menuntut suatu sebab. Tidak ada rangkaian tak terhingga
dari sebab, sehingga mesti ada suatu "sebab pertama" bagi sesuatu. Dan
sebab itu adalah Tuhan. Samuel Clarke dalam buku A Demonstration of the Being and Attributes of God (1978) menyatakan bahwa "tak ada yang lebih absurd daripada menduga bahwa sesuatu ada, bukannya tiada."
Keyakinan bahwa jagad raya sebagai keseluruhan mesti memiliki sebab, dan
sebab itu adalah Tuhan, diucapkan pertama kali oleh Plato dan
Aristoteles. Pemikiran sains-religius ini selanjutnya dikembangkan oleh
Thomas Aquinas serta mencapai bentuk yang meyakinkan oleh Gottfried
Wilhelm van Leibniz dan Samuel Clarke pada abad ke-18. Pemikiran ini
dikenal sebagai argumen kosmologis, yakni argumen kausal dan argumen
kontingensi.
Argumen kosmologis dibicarakan dengan skeptisisme oleh David Hume dan
Immanuel Kant, yang kemudian diserang secara sengit oleh Bertrand
Russell. Sasaran argumen kosmologis berlapis dua. Pertama, menegakkan
eksistensi "penggerak pertama", wujud yang menerangkan eksistensi dunia.
Kedua, membuktikan bahwa wujud ini adalah Tuhan (God) sebagaimana dipahami oleh para teolog dalam doktrin Yudeo-Kristiani.
Dalam kehidupan, kita jarang meragukan bahwa seluruh kejadian alam
semesta ini disebabkan dengan cara tertentu. Misalnya, sebuah jembatan
ambruk karena jembatan tersebut kelebihan beban, salju mencair karena
panas matahari, dan sebatang pohon tumbuh karena sebutir biji telah
ditanamkan. Lalu, adakah sebuah benda tidak memiliki sebab?
Paul Davies, guru besar Fisika Teori pada Universitas New Castle-upon-Tyne, Inggris, dan penulis buku God and the New Physics (1987), menyatakan bahwa banyak ide baru bermunculan di garis depan fisika dasar: teori superstring dan pendekatan lain terhadap apa yang disebut Teori tentang Segala Sesuatu (Theories of Everything), dan kosmologi kuantum sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana alam semesta dapat muncul dari tiada (The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World, 1993).
Di samping itu, telah muncul perhatian luar biasa terhadap apa yang
secara sederhana dapat dilukiskan sebagai titik-perjumpaan sains
kontemporer dan agama. Pemikiran ini memperoleh dua bentuk yang berbeda.
Pertama, dialog yang berkembang pesat antara ilmuwan, filsuf, dan
teolog mengenai konsep penciptaan dan isu-isu terkait. Kedua, mode yang
sedang berkembang dalam pemikiran mistik dan filsafat Timur, yang telah
diklaim oleh beberapa komentator sebagai membuat kontak yang dalam dan
bermakna dengan fisika dasar.
Kendati agama secara intrinsik memiliki unsur yang abadi, suci, dan
final, pemahaman serta penafsiran atasnya bersifat terbuka dan
manusiawi. Desakan untuk menafsirkan agama secara demikian itu semakin
diintensifkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Sains dan teknologi
telah memunculkan tantangan serius terhadap pandangan agama. Teologi
klasik akan terlihat usang jika bersikeras mempertahankan doktrinnya
tanpa mengupayakan tanggapan baru yang bersifat kreatif dan progresif.
Untuk itu, Profesor Ian G. Barbour, guru besar Fisika dan juga guru
besar Teologi pada Carleton College, Amerika Serikat, mengajukan
"teologi proses" sebagai jalan untuk mendobrak kebekuan pemikiran
keagamaan dalam berinteraksi dengan sains kontemporer. Dengan mengambil
ilham dari "filsafat proses" Whitehead, Barbour melalui buku Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama
berupaya mengintegrasikan konsep sains kontemporer dengan agama. Dengan
cara inilah, manusia diharapkan dapat lebih mengenal Tuhannya, alam
semesta, dan hakikat dirinya sendiri, juga hubungan antara ketiganya.
Kekuatan buku ini terletak pada upaya penulis dalam mengintegrasikan
karakteristik teori ilmiah yang fundamental dengan model pemahaman
tentang Tuhan. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dengan agama.
Menurutnya, antara sains dan agama terdapat empat varian hubungan:
konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam hubungan konflik,
sains menegasikan eksistensi agama dan agama menegasikan sains.
Masing-masing hanya mengakui keabsahan eksistensinya. Dalam hubungan
independensi, masing-masing mengakui keabsahan eksistensi yang lain dan
menyatakan bahwa di antara sains dan agama tak ada irisan satu sama
lain. Dalam hubungan dialog, dia mengakui di antara sains dan agama
terdapat kesamaan yang dapat didialogkan antara para ilmuwan (saintis)
dan agamawan (teolog).
Dalam buku ini, Barbour mengkaji apakah sains kontemporer dapat
memberikan 'kunci' yang akan membuka rahasia (gaib) dari pertanyaan
besar yang telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun. Ia
mengeksplorasi eksistensi Allah (God) dan evolusi, genetika dan kodrat manusia, neurosains dan inteligensi buatan; serta teologi, etika, dan lingkungan.
Dengan memetakan cara bagaimana teori dari ilmuwan, seperti Charles
Darwin, Stuart Kauffman, Arthur Peacocke, Alfred North Whitehead,
Terrence Deacon, Claude Levi-Strauss, Paul Tillich, James Watson, dan
Keith Ward, Barbour telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.
Ia menempatkan penemuan para ilmuwan ini ke dalam konteks bersama dengan
tulisan para filsuf, seperti Plato, Rene Descartes, David Hume, dan
Immanuel Kant.
Pemikiran sains kontemporer hingga teologi klasik dari para ilmuwan ini
dicoba dipertemukan dan dipertentangkan satu sama lain dalam buku yang
cukup memikat ini. Kesimpulannya yang mengejutkan kita adalah bahwa alam
semesta bukanlah produk sampingan minor dari kekuatan tanpa pikiran dan
tujuan. Kita sungguh berarti ada di sini. Dengan menggunakan sains
kontemporer, kita dapat menemukan realitas Tuhan.
Menemukan Tuhan
Sebuah majalah di Amerika pernah menyatakan dalam headline: Astronomers Discover God! (Para Astronom Menemukan Tuhan!). Subyek artikel itu adalah Big Bang
(Dentuman Besar) dan kemajuan mutakhir dalam pemahaman tentang
penggalan waktu dari jagad raya. Fakta penciptaan itu sendiri dipandang
memadai untuk mengungkapkan makna pernyataan: Tuhan menyebabkan
penciptaan? Mungkinkah memahami penciptaan tanpa Tuhan?
Model biblikal tentang Allah adalah analog yang ditarik dari satu ranah
pengalaman untuk menafsirkan peristiwa di dalam ranah pengalaman lain.
Dalam Alkitab (Injil), ada pelbagai ragam model Allah. Dalam Kitab
Kejadian, Allah dilukiskan sebagai perancang maha tahu yang memenangkan
keteraturan (cosmos) atas kekacauan (chaos).
Teks biblikal lain melukiskan-Nya sebagai seorang perajin tanah liat
yang sedang membentuk sebuah barang (Yeremia 18:6; Yesaya 64:8) atau
arsitek yang membangun fondasi untuk sebuah bangunan (Ayub 38:4). Allah
dibayangkan sebagai Tuhan dan Raja, yang memerintah baik atas alam
maupun sejarah. Dalam Perjanjian Baru, Allah mencipta melalui Firman
(Yohanes 1), sebuah istilah yang menyatukan ide Ibrani akan Firman Ilahi
yang aktif dalam dunia dan pandangan Yunani akan firman (logos) sebagai prinsip rasional.
Kaum muslim memahami bahwa kegaiban Allah menyangkut salah satu sifat
utama dan fundamental Allah. Kitab suci Al-Quran secara tegas dan
deterministis--misalnya QS.10:101--memerintahkan umat manusia untuk
mengkaji secara sistematis, cermat, dan sabar terhadap fenomena alam
semesta. Allah Swt. berfirman: "Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila
Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia." (QS.2:117)
Semua ini adalah variasi yang kaya dari pelbagai ragam model Allah, yang
masing-masingnya merupakan analog parsial dan terbatas, yang secara
imajinatif menggarisbawahi cara pandang partikular akan relasi Allah
dengan dunia (hlm. 228).
Pandangan ortodoks berpendapat bahwa Tuhan itu bukan zat. Logika
ilmiah--sebagaimana pernah diungkap Friedrich Nietzsche, Clarke,
Leibniz, Hume, Kant, dan Russell--menyatakan hanya ada tiga jenis zat,
yakni zat padat, cair, dan gas. Selain itu tidak ada lagi. Tetapi ada
sesuatu yang bukan zat yang selalu digunakan untuk memikirkan sesuatu,
yaitu "pikiran" itu sendiri. Adakah yang mampu menggambarkan seperti apa
wujud pikiran itu? Jika tidak ada, artinya ada "zat" yang tidak
terbentuk zat seperti yang kita kenal.
Menurut para teolog, kehidupan merupakan mukjizat tertinggi dan
kehidupan manusia merepresentasikan pencapaian yang teranugerahkan dari
rancangan induk kosmis Tuhan. Bagi ilmuwan, kehidupan adalah fenomena
paling menarik dalam alam semesta. Seratus tahun yang lalu, pokok
persoalan tentang asal usul dan evolusi sistem kehidupan menjadi 'medan
pertempuran' bagi bentrokan terbesar antara sains dan agama sepanjang
sejarah kontemporer.
Teori evolusi Charles Darwin mengguncang fondasi doktrin Kristen dan
lebih dari ungkapan lain apapun sejak Nicolaus Copernicus menempatkan
Matahari pada pusat sistem tata surya. Konsep ini menyadarkan orang
kebanyakan terhadap konsekuensi berjangkauan jauh dari analisis ilmiah.
Sains kontemporer, demikianlah tampaknya, dapat mengubah keseluruhan
perspektif manusia tentang diri dan relasinya dengan jagad raya.
Bibel menyatakan secara eksplisit bahwa kehidupan merupakan akibat
langsung dari aktivitas Tuhan. Ia tidak muncul secara alamiah sebagai
akibat proses fisik yang ditegakkan setelah penciptaan langit dan Bumi.
Sebaliknya, Tuhan memilih untuk menghasilkan--melalui kekuasaan
ketuhanan--mula-mula tumbuh-tumbuhan dan binatang, kemudian manusia.
Tentu saja mayoritas umat Kristiani dan Yahudi mengakui hakikat alegoris
dari "Kejadian" dan tidak berupaya membela versi Bibel dari asal-usul
kehidupan sebagai fakta historis.
Fisika Kuantum
Ide tentang Tuhan Sang Pencipta, yang menyebabkan jagad raya dari
kehendak bebas-Nya, berakar kuat dalam budaya Yudeo-Kristiani. Namun,
kita telah melihat bagaimana asumsi semacam itu memunculkan problem
lebih banyak ketimbang yang dapat diselesaikannya. Kesulitannya
melibatkan persoalan tentang hakikat waktu dan ruang.
Jika waktu tercakup dalam jagad raya dan tunduk pada hukum fisika kuantum (quantum physics),
ia harus dimasukkan dalam jagad raya yang Tuhan diduga telah
menciptakannya. Tetapi apakah artinya mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
waktu, dalam kaitan dengan pemahaman suatu sebab harus mendahului
efeknya? Kausasi adalah aktivitas temporal. Waktu harus telah eksis
sebelum sesuatu dapat disebabkan. Gambaran naif tentang Tuhan yang eksis
'sebelum' jagad raya jelas absurd jika waktu tidak eksis--jika tidak
ada 'sebelum'.
Argumen kontingensi akan jatuh menjadi korban kesuksesannya sendiri,
seandainya kita memperluas definisi "jagad raya" yang mencakup Tuhan.
Lalu, apakah penjelasan untuk Tuhan secara total plus jagad raya fisik
yang mencakup ruang, waktu, dan materi? Para teolog akan menjawab:
"Tuhan adalah wujud 'niscaya', tanpa memerlukan penjelasan. Tuhan memuat
di dalam diri-Nya penjelasan tentang eksistensinya sendiri." Jika itu
demikian, mengapa kita tidak dapat menggunakan argumen yang sama untuk
menjelaskan jagad raya: Jagad raya 'niscaya', ia memuat di dalam dirinya
alasan bagi eksistensinya sendiri?
Alam semesta yang kompleks tetapi teratur secara mengagumkan ini pasti
memiliki suatu sistem pengatur yang lebih canggih dari hukum alam
semesta itu sendiri. Akan tetapi, sistem pengatur tersebut bukan suatu
pribadi yang dikenal dengan sebutan "Tuhan" (atau God/ dalam
definisi Yudeo-Kristiani), sebab Tuhan tidak dapat menjadi yang paling
perkasa jika Dia sendiri tunduk kepada hukum fisika kuantum mengenai
waktu. Jika Tuhan tidak menciptakan waktu karena waktu melahirkan
dirinya sendiri, tentunya Dia juga tidak pernah menjadi pencipta alam
semesta. Kedua masalah tersebut saling bergantungan.
Sebagian ahli fisika karena terilhami oleh simplisitas hukum fundamental
yang dimiliki alam semesta, telah berargumentasi bahwa boleh jadi hukum
tertinggi (dalam hal ini adigaya) memiliki struktur matematis yang
terdefinisi secara unik sebagai satu-satunya prinsip fisika yang
konsisten secara logis. Katakanlah, fisika dinyatakan 'niscaya' sama
halnya dengan Tuhan dinyatakan 'niscaya' oleh para teolog. Lalu,
haruskan kita berkesimpulan bahwa "Tuhan adalah fisika kuantum"
sebagaimana telah dilakukan oleh para filsuf seperti Plato?
Apakah yang dapat menjelaskan struktur ruang-waktu dan hukum fisika
kuantum yang bahkan dapat menghasilkan suatu dunia yang cocok untuk
hidup dan daya inteligensi? Keberatan utama Ian Barbour atas argumentasi
ini lebih bersifat teologis daripada ilmiah. Walaupun argumen itu
diterima, ia toh hanya mengarah ke Allah versi deisme, yang
merancang-bangun alam semesta ini, lalu meninggalkannya berjalan
sendiri-dan bukan Allah versi teisme yang terlibat secara aktif dalam
dunia dan hidup manusia (hlm. 35).
Kalau kita mengandaikan bahwa "Allah mengendalikan semua
ketidaktentuan," kita dapat mempertahankan ide tradisional tentang
predestinasi. Ini lebih merupakan determinisme teologis daripada
fisikal, sebab tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi secara kebetulan.
Sebuah pendapat alternatif mengatakan bahwa sebagian besar peristiwa
kuantum terjadi secara kebetulan, tetapi "Allah memengaruhi beberapa di
antaranya" tanpa melanggar hukum statistik dari fisika kuantum.
Pandangan ini pun sesuai dengan bukti ilmiah (hlm. 83).
Sayangnya, pemikiran genial dari penulis buku Menemukan Tuhan ini
dibatasi hanya pada teologi Kristen. Karena itu, buku ini dilengkapi
pula dengan Pengantar dari sudut pandang (konsepsi) keimanan Islam yang
ditulis Armahedi Mahzar, ilmuwan ITB Bandung.
Keimanan Islam kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Nabi SAW: "Dia (Allah
SWT) satu; Dia nyata sekaligus gaib, pertama sekaligus terakhir, tak
ada bandingan dan tak ada yang menyamai." Dan Al-Quran menegaskan,
"Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu
bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS.20:50)
Konsepsi tentang Allah adalah inti dari seluruh keimanan, ajaran, dan
praktik dalam doktrin keislaman. Pilar penyangga segenap bangunan Islam.
Dengan konsepsi ini, kita dapat mengukur apakah dalam kehidupan ini
pandangan, pemahaman, penilaian, dan sikap kita tentang kejadian alam
semesta sudah benar atau masih menyimpang dari kebenaran. Konsepsi ini
juga menetapkan batas kualitas kemanusiaan kita. Setidaknya upaya
menyeimbangkan dengan konsepsi Islam--memadukan sains kontemporer dan
agama ala Ian Barbour--melalui buku ini telah diupayakan, walaupun
sangat sedikit dan dangkal.
Buku ini, selain merupakan dialog sains kontemporer dengan agama,
diharapkan dapat membuka arah baru bagi dialog lintas-agama. Melalui
buku ini, kita diajak berekreasi bersama logika dan nalar untuk
mengetahui dan memahami eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Tidak
berlebihan jika karya Profesor Ian Barbour ini menjadi rujukan penting
dalam menemukan konsepsi Tuhan, dan memandu pembaca mencapai puncak
ilmu.
l
Syafruddin Azhar, pengamat perbukuan dan editor pada PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
|
|