Selasa, 15 Mei 2012

Kenangan

Diposting oleh Unknown di 17.09

***
“Emang paling enak tuh sotonya Bang Karyo...” Rhea mengambil sate kerang di dekat mangkuk soto yang telah ia libas habis tanpa sisa dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sementara  Dion masih dengan suapan terakhirnya, menghabiskan soto skala besar yang dipesannya. Sambil megap-megap karena kepedesan Dion mengambil es teh didekat mangkok sotonya dan melibas habis es teh tanpa sisa.

“Kenyang...” gumam Dion. “Emang bener gak salah pilih gue, punya temen ratu makan...” sindir Dion.

“Enak kan pilihan gue.. Murah lagi...” timpal Rhea bangga.

“Bener aja lu sering kesini, teryata selain enak, murah juga...”   

Dari kejauhan terlihat seorang perempuan tinggi, berambut panjang, berkulit putih keluar dari mobil jazz merahnya. Perempuan itu mendekati Rhea dan Dion yang sejak tadi terlihat sibuk menghabiskan makanan dan besenda gurau.

“Rhea....” panggil perempuan itu. Tifa.

“Eh elu Fa, kenalin nih temen gue. Dion. Yon, ini Tifa...” Dion mengulurkan tangan kepada Tifa, tanda pertemanan mereka dimulai. “Dion ini kakak kelas gue waktu SMA lho... pinter juga lho.. pinter ngerepotin orang maksudnya...” kata Rhea setengah berbisik.

“Sialalan lu Re, nyela gue aja terus...” Dion mempersilahkan Tifa duduk disamping Rhea. “Duduk dulu Fa. Bener-bener nih anak, biarin temen sendiri berdiri kaya mau upacara bendera.”

“Ups.. sori Fa, ada apa Fa? Gak biasanya lu sampe sini demi gue...” Rhea menatap wajah Tifa yang sembab.

“Gue.. gue gak bisa ngomong disini Re...” kedua tangan Tifa mengengam erat tangan Rhea. Dari sorot mata Tifa terlihat urat kecemasan yang mendalam. Rhea berbicara lewat bahasa tubuh ke arah Dion “Yon, kerjaannya lanjut besok aja ya...”. Dion menganguk tanda ia mengerti. Dion bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Bang Karyo yang tengah sibuk mengelap mangkok kecil tempat sotonya. Suasana menjadi tegang setelah Dion pamit pulang kerumahnya.

“Re,Fa, Gue pamit pulang dulu.. barang-barang gue tinggal ditempat lu, entar malem gue ke kos lu lagi.” 

Dion melambaikan tangan kearah mereka berdua. Suasana masih diselimuti kabut tebal, setebal kabut digunung himalaya. Rhea mengajak Tifa pulang ke kosnya. Tifa hanya menganguk dan berjalan menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju kos Tifa hanya diam mematung. Tak ada kata, bahkan huruf yang diucapkannya. Mobil jazz merah itu berhenti di depan kos Rhea. Mereka berdua turun dari mobil dan berjalan menuju kamar. Raut wajah Tifa masih seperti setengah jam yang lalu, tetap muram dan menyimpan banyak luka dan kesedihan.

“Fa, lu kenapa?” pancing Rhea memulai pertanyaan.

“Papa gue selingkuh Re, dan lu tau?siap selingkuhannya?” Tifa menunduk ,air mata yang dari tadi di bendungnya kini kian tumpah. Sambil terisak dia melanjutkan kalimatnya “Sama Budhe gue Re...”
Rhea memeluk Tifa dengan penuh kasih sayang. Rhea mengerti bagaimana perasaan yang dialami Tifa. Karena semenjak SMP dia ditinggal kedua orang tuanya cerai. Tifa menangis sejadinya dipelukan Rhea.

“Udah Fa, sabar...”kata Rhea sambil menepuk bahu Tifa.

“Gue udah sabar Re, Gue udah coba buat gak ngasih tau kejadian ini ke mama Re... dan papa ngancdem gue, kalau sampai gue berani kasih tau mama... papa akan...hiks..” Tifa diam tak mampu meneruskan perkataannya.

“Cerai?” tanya Rhea disertai angukan dari Tifa. Atmosfir ruangan Rhea semankin sempit. Burung-burung yang biasa bertenger di pagar tak tampak batang hidungnya, dalam sekejap ruangan menjadi sunyi, hanya tangisan Tifa yang samar terdengar kemudian hilang bak ditelan bumi. Tifa masih dengan tangis sengukannya. 

Namun kali ini sedikit reda. Karena hujan pun akan reda dan setelahnya akan ada pelangi yang menghiasi indahnya langit.

“Malam ini , gue tidur tempat lu ya.. Re..” Rhea hanya menganguk. Rhea menyuruh Tifa agar dapat tidur lebih awal, agar pikirannya yang sedang berkecamuk dapat tenang barang sejenak. Beberapa menit kemudian dilihatnya Tifa yang sudah tidur dengan pulas sambil memeluk boneka doraemonnya. Segurat raut wajah Tifa terlihat sangat kelelahan dengan beban masalahnya yang ia tanggung dari kesalahan ayahnya. Rhea teringat sesuatu, yang membuat dia membenci sosok seorang ayah yang pernah ada dalam hidupnya...

***

“Ini anak ayah yang paling pinter...” kata seseorang dari kejauhan seraya membopong lengan putri kecilnya.

“Iya ayah.. gambarku bagus kan...” kata anak perempuan itu dengan bangga.

“Iya bagus banget.. siapa dulu yang gambar, kan putri ayah...” jawab pria itu bangga.

“Mas...” Panggil seorang wanita dari depan pintu.

“Ayah perggi dulu ya sayang...” pamit sang ayah.

“Ayah jangan pergi..Ayah jangan pergi...” rengek anak perempuan itu.

“Mas, kamu mau pergi kemana?” tanya wanita muda yang muncul dari arah kamar sambil menahan isak tangis, wanita itu mengendong putrinya. “Jangan sentuh putriku.” Gertak wanita itu.

“Aku akan pergi, kita bertemu besok di Pengadilan.” Jawab Ayah itu tegas.

“Ayah.. jangan pergi... Ayah...”

***

Edo terbangun dari tidur panjangnya. Kamar itu terlihat lebih luas dari biasanya.  Edo menatap langit-langit atas kamar. Edo bangun dan berjalan menuju jendela kamar. Dilihatnya angkasa raya yang membentang, tak satu pun bintang malam yang terlihat oleh mata nya. Jakarta memang seperti itu, lampu-lampu kota dan asap-asap tebal menyurutkan niat bintang untuk datang menyinari keindahan kota.

Hanya satu bintang yang paling diingat dan selalu ada dalam hatinya, namun sekarang bintang itu telah pergi meninggalkanya. Bintang yang menjadi tolak ukur kerja kerasnya, bintang yang selalu memberikanya semangat untuk tetap menjaga ibunya. Bintang itu adalah ayah. Mendadak suasana menjadi sangat sepi. 

Seandainya tubuh ayahnya dapat di transplantasi ke tubuhnya, Edo akan melakukannya. Hanya saja dokter akan menyangkanya orang gila. Edo tertawa kecil mengingat kejadian masa kecil itu, dia merengek minta diberi tangan dan kaki ayahnya, biar dia bisa menjadi seorang yang mampu menjaga ibunya.
Edo tersenyum sambil berjalan menuju tempat tidur dan kembali tidur dalam mimpinya. Bintang-bintang.

***

Rhea terbangun dari mimpi buruknya, nafasnya yang ngos-ngosan dan keringatnya yang mengucur deras membuatnya berjalan keluar untuk mengambil segelas air. Diminumnya air itu dengan sekali tegukan. Ia rindu pada ayahnya, tapi ia sangat membencinya. Sudah empat setengah tahun ia tak bertemu dengan ayahnya. \

Semenjak dia memilih kuliah di Jakarta dan meninggalkan kampung halamannya di Jogja. Rhea berjalan ke arah pintu luar, dilewatinya lorong panjang untuk melihat sebuah bintang di depan kosnya. Dibukanya pintu kos dengan perlahan agar tak membangunkan warga kos yang jumlahnya pas untuk diajak tawuran antar pelajar se depok. Angin malam berhembus kesela-sela kulit Rhea. dilihatnya langit kota jakarta yang cerah, namun barang kecil yang dicari-cari tak ingin muncul terlihat oleh matanya. Bintang. Mungkin kalau dia naik keatas genteng kos nya ia akan meliaht sebuah bintang jatuh dan membuat sebuah permintaan dan doa untuk malam ini dan esok mendatang. Diambilnya tangga di dekat tembok samping kosnya dan perlahan ia mulai langkah demi langkah untuk menaiki tangga yang terbuat dari bambu usang itu. Setelah ia duduk diatas genteng perlahan ia menutup kedua mata dan menghirup udara dalam-dalam. Udara di Jakarta memang tak seperti di Jogja, dan suasananya tak sedamai di Jogja. Sekejap Rhea merindukan kampung halamanannya. 

Rhea kembali membuka kedua matanya dan mencari sesosok bintang yang selalu dinantikanya, Rhea. nama bintang yang diberikan olehnya sendiri waktu kecil. Ketika ia sedang bermain dengan teman lamanya yang sekarang hilang entah kemana. Meninggalkanya ketika ia menginginkan seorang teman berada disampingnya. 

Waktu cepat berlalu, semua hal sudah berjalan sesuai kehendak-Nya. Rhea menguap , tanda ia harus tidur malam yang sudah larut ini. Perlahan ia kembali menuruni tangga dan berjalan menuju dalam kamar nya.

“Re, habis dari mana?” tanya Tifa yang terbangun karena suara pintu yang terbuka.

“Bis dari belakang.” Jawab Rhea seraya mengambil selimut dan tidur di dekat Tifa.

“Makasih ya Re, lu emang sahabat gue yang paling baek..” Tifa memalingkan wajah di atas muka Rhea sambil mencubit pipi Rhea.

“Aduh... Udah sembuh sindrom patah lu...” Jerit Rhea sambil membalas cubitan Tifa. Tifa hanya balas mengganguk kemudian melepaskan cubitanyanya dan kembali memeluk Rhea. Rhea hanya diam seperti patung. Melihat sahabatnya tersenyum kembali Rhea jadi lega.

“Apa-apaan sih.. Udah tidur Fa...” Tifa hanya mengganguk dan kembali dalam selimut mimpi-mimpinya yang tak tau kapan akan berujung bahagia.

***



0 komentar:

Posting Komentar

 

Kopi Gudeg Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting