***
“Emang paling enak tuh sotonya
Bang Karyo...” Rhea mengambil sate kerang di dekat mangkuk soto yang telah ia
libas habis tanpa sisa dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sementara Dion masih dengan suapan terakhirnya,
menghabiskan soto skala besar yang dipesannya. Sambil megap-megap karena
kepedesan Dion mengambil es teh didekat mangkok sotonya dan melibas habis es
teh tanpa sisa.
“Kenyang...” gumam Dion. “Emang
bener gak salah pilih gue, punya temen ratu makan...” sindir Dion.
“Enak kan pilihan gue.. Murah
lagi...” timpal Rhea bangga.
“Bener aja lu sering kesini,
teryata selain enak, murah juga...”
Dari kejauhan terlihat seorang
perempuan tinggi, berambut panjang, berkulit putih keluar dari mobil jazz
merahnya. Perempuan itu mendekati Rhea dan Dion yang sejak tadi terlihat sibuk
menghabiskan makanan dan besenda gurau.
“Rhea....” panggil perempuan itu.
Tifa.
“Eh elu Fa, kenalin nih temen
gue. Dion. Yon, ini Tifa...” Dion mengulurkan tangan kepada Tifa, tanda
pertemanan mereka dimulai. “Dion ini kakak kelas gue waktu SMA lho... pinter
juga lho.. pinter ngerepotin orang maksudnya...” kata Rhea setengah berbisik.
“Sialalan lu Re, nyela gue aja
terus...” Dion mempersilahkan Tifa duduk disamping Rhea. “Duduk dulu Fa.
Bener-bener nih anak, biarin temen sendiri berdiri kaya mau upacara bendera.”
“Ups.. sori Fa, ada apa Fa? Gak
biasanya lu sampe sini demi gue...” Rhea menatap wajah Tifa yang sembab.
“Gue.. gue gak bisa ngomong
disini Re...” kedua tangan Tifa mengengam erat tangan Rhea. Dari sorot mata
Tifa terlihat urat kecemasan yang mendalam. Rhea berbicara lewat bahasa tubuh
ke arah Dion “Yon, kerjaannya lanjut besok aja ya...”. Dion menganguk tanda ia
mengerti. Dion bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Bang Karyo yang
tengah sibuk mengelap mangkok kecil tempat sotonya. Suasana menjadi tegang
setelah Dion pamit pulang kerumahnya.
“Re,Fa, Gue pamit pulang dulu..
barang-barang gue tinggal ditempat lu, entar malem gue ke kos lu lagi.”
Dion
melambaikan tangan kearah mereka berdua. Suasana masih diselimuti kabut
tebal, setebal kabut digunung himalaya. Rhea mengajak Tifa pulang ke kosnya.
Tifa hanya menganguk dan berjalan menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju
kos Tifa hanya diam mematung. Tak ada kata, bahkan huruf yang diucapkannya.
Mobil jazz merah itu berhenti di depan kos Rhea. Mereka berdua turun dari mobil
dan berjalan menuju kamar. Raut wajah Tifa masih seperti setengah jam yang
lalu, tetap muram dan menyimpan banyak luka dan kesedihan.
“Fa, lu kenapa?” pancing Rhea
memulai pertanyaan.
“Papa gue selingkuh Re, dan lu
tau?siap selingkuhannya?” Tifa menunduk ,air mata yang dari tadi di bendungnya
kini kian tumpah. Sambil terisak dia melanjutkan kalimatnya “Sama Budhe gue
Re...”
Rhea memeluk Tifa dengan penuh
kasih sayang. Rhea mengerti bagaimana perasaan yang dialami Tifa. Karena
semenjak SMP dia ditinggal kedua orang tuanya cerai. Tifa menangis sejadinya
dipelukan Rhea.
“Udah Fa, sabar...”kata Rhea
sambil menepuk bahu Tifa.
“Gue udah sabar Re, Gue udah coba
buat gak ngasih tau kejadian ini ke mama Re... dan papa ngancdem gue, kalau
sampai gue berani kasih tau mama... papa akan...hiks..” Tifa diam tak mampu
meneruskan perkataannya.
“Cerai?” tanya Rhea disertai
angukan dari Tifa. Atmosfir ruangan Rhea semankin sempit. Burung-burung yang
biasa bertenger di pagar tak tampak batang hidungnya, dalam sekejap ruangan
menjadi sunyi, hanya tangisan Tifa yang samar terdengar kemudian hilang bak
ditelan bumi. Tifa masih dengan tangis sengukannya.
Namun kali ini sedikit
reda. Karena hujan pun akan reda dan setelahnya akan ada pelangi yang menghiasi
indahnya langit.
“Malam ini , gue tidur tempat lu
ya.. Re..” Rhea hanya menganguk. Rhea menyuruh Tifa agar dapat tidur lebih
awal, agar pikirannya yang sedang berkecamuk dapat tenang barang sejenak.
Beberapa menit kemudian dilihatnya Tifa yang sudah tidur dengan pulas sambil
memeluk boneka doraemonnya. Segurat raut wajah Tifa terlihat sangat kelelahan
dengan beban masalahnya yang ia tanggung dari kesalahan ayahnya. Rhea teringat
sesuatu, yang membuat dia membenci sosok seorang ayah yang pernah ada dalam
hidupnya...
***
“Ini anak ayah yang paling
pinter...” kata seseorang dari kejauhan seraya membopong lengan putri kecilnya.
“Iya ayah.. gambarku bagus
kan...” kata anak perempuan itu dengan bangga.
“Iya bagus banget.. siapa dulu
yang gambar, kan putri ayah...” jawab pria itu bangga.
“Mas...” Panggil seorang wanita
dari depan pintu.
“Ayah perggi dulu ya sayang...”
pamit sang ayah.
“Ayah jangan pergi..Ayah jangan
pergi...” rengek anak perempuan itu.
“Mas, kamu mau pergi kemana?”
tanya wanita muda yang muncul dari arah kamar sambil menahan isak tangis,
wanita itu mengendong putrinya. “Jangan sentuh putriku.” Gertak wanita itu.
“Aku akan pergi, kita bertemu
besok di Pengadilan.” Jawab Ayah itu tegas.
“Ayah.. jangan pergi... Ayah...”
***
Edo terbangun dari tidur
panjangnya. Kamar itu terlihat lebih luas dari biasanya. Edo menatap langit-langit atas kamar. Edo
bangun dan berjalan menuju jendela kamar. Dilihatnya angkasa raya yang
membentang, tak satu pun bintang malam yang terlihat oleh mata nya. Jakarta
memang seperti itu, lampu-lampu kota dan asap-asap tebal menyurutkan niat
bintang untuk datang menyinari keindahan kota.
Hanya satu bintang yang paling
diingat dan selalu ada dalam hatinya, namun sekarang bintang itu telah pergi
meninggalkanya. Bintang yang menjadi tolak ukur kerja kerasnya, bintang yang selalu
memberikanya semangat untuk tetap menjaga ibunya. Bintang itu adalah ayah.
Mendadak suasana menjadi sangat sepi.
Seandainya tubuh ayahnya dapat di
transplantasi ke tubuhnya, Edo akan melakukannya. Hanya saja dokter akan
menyangkanya orang gila. Edo tertawa kecil mengingat kejadian masa kecil itu,
dia merengek minta diberi tangan dan kaki ayahnya, biar dia bisa menjadi
seorang yang mampu menjaga ibunya.
Edo tersenyum sambil berjalan
menuju tempat tidur dan kembali tidur dalam mimpinya. Bintang-bintang.
***
Rhea terbangun dari mimpi
buruknya, nafasnya yang ngos-ngosan dan keringatnya yang mengucur deras
membuatnya berjalan keluar untuk mengambil segelas air. Diminumnya air itu
dengan sekali tegukan. Ia rindu pada ayahnya, tapi ia sangat membencinya. Sudah
empat setengah tahun ia tak bertemu dengan ayahnya. \
Semenjak dia memilih kuliah
di Jakarta dan meninggalkan kampung halamannya di Jogja. Rhea berjalan ke arah
pintu luar, dilewatinya lorong panjang untuk melihat sebuah bintang di depan
kosnya. Dibukanya pintu kos dengan perlahan agar tak membangunkan warga kos
yang jumlahnya pas untuk diajak tawuran antar pelajar se depok. Angin malam
berhembus kesela-sela kulit Rhea. dilihatnya langit kota jakarta yang cerah,
namun barang kecil yang dicari-cari tak ingin muncul terlihat oleh matanya.
Bintang. Mungkin kalau dia naik keatas genteng kos nya ia akan meliaht sebuah
bintang jatuh dan membuat sebuah permintaan dan doa untuk malam ini dan esok
mendatang. Diambilnya tangga di dekat tembok samping kosnya dan perlahan ia
mulai langkah demi langkah untuk menaiki tangga yang terbuat dari bambu usang
itu. Setelah ia duduk diatas genteng perlahan ia menutup kedua mata dan
menghirup udara dalam-dalam. Udara di Jakarta memang tak seperti di Jogja, dan
suasananya tak sedamai di Jogja. Sekejap Rhea merindukan kampung halamanannya.
Rhea kembali membuka kedua matanya dan mencari sesosok bintang yang selalu
dinantikanya, Rhea. nama bintang yang diberikan olehnya sendiri waktu kecil.
Ketika ia sedang bermain dengan teman lamanya yang sekarang hilang entah
kemana. Meninggalkanya ketika ia menginginkan seorang teman berada
disampingnya.
Waktu cepat berlalu, semua hal sudah berjalan sesuai
kehendak-Nya. Rhea menguap , tanda ia harus tidur malam yang sudah larut ini.
Perlahan ia kembali menuruni tangga dan berjalan menuju dalam kamar nya.
“Re, habis dari mana?” tanya Tifa
yang terbangun karena suara pintu yang terbuka.
“Bis dari belakang.” Jawab Rhea
seraya mengambil selimut dan tidur di dekat Tifa.
“Makasih ya Re, lu emang sahabat
gue yang paling baek..” Tifa memalingkan wajah di atas muka Rhea sambil
mencubit pipi Rhea.
“Aduh... Udah sembuh sindrom
patah lu...” Jerit Rhea sambil membalas cubitan Tifa. Tifa hanya balas
mengganguk kemudian melepaskan cubitanyanya dan kembali memeluk Rhea. Rhea
hanya diam seperti patung. Melihat sahabatnya tersenyum kembali Rhea jadi lega.
“Apa-apaan sih.. Udah tidur
Fa...” Tifa hanya mengganguk dan kembali dalam selimut mimpi-mimpinya yang tak
tau kapan akan berujung bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar