Senin, 14 Mei 2012

Pertama

Diposting oleh Unknown di 17.21

Dari sudut kamar terlihat beberapa rak buku yang ditata sedemikian apik. Dari arah jendela terlihat siluet cahaya matahari yang tenggelam dari arah jendela yang menonjolkan kesan tentram dan damai. Kamar yang berukuran 3,5 X 3,5 meter itu mampu menghipnotis orang yang akan masuk ke dalamnya untuk sejenak menikmati suasana didalam kamar maupun di balkon depan kamar.

Dari sudut yang berbeda terlihat seorang perempuan berambut panjang yang sedang membaca majalah di sofa dekat jendela kamarnya. Sesekali perempuan itu memandang ke arah jendela. Di dapatinya sepasang burung gereja bermain diatas pagar teras kamarnya. Burung-burung itu seperti sedang membicarakan sesuatu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, mungkin tentang santapan sarapan, hangout hari minggu yang cerah ini atau tentang suasana alam yang perlahan  hilang oleh segerombolan orang yang menjejaki wilayah mereka. Perempuan itu tersenyum simpul dengan pemikiran-pemikiran konyol yang dibuatnya sendiri. Sejurus kemudian perlahan seseorang mengetuk pintu kamarnya. Perempuan yang bernama Rhea itu langsung sigap menutup majalah yang sedang ia baca, dan berjalan menuju pintu kamarnya.

Terlihat seorang pria kekar , bertubuh sawo matang dan berwajah sanggar berdiri di depan pintu menunggu seorang Rhea membukakan pintu untuknya.  Pintu itu perlahan dibuka, sontak Rhea kaget melihat sesosok kekar dihadapannya. Dion.

“Dion.. Ada apa weekend gini lu kesini?” Rhea  menggaruk rambutnya yang terasa tak gatal.

“Ada kerjaan bejubel nih Re, gila aja besok selasa kudu jadi. Mana desain belum jadi, orangnya riwil lagi.” 

Dion masih berdiri di depan pintu membawa map gambar projek yang ia desain semalam suntuk di tangan kanannya, dan tas punggung eiger yang berisi leptop dan makanan ringan didalamnya dan  berharap Rhea mau membantunya. Rhea masih dengan pikiran-pikiranya tentang hari minggu yang telah ia rancang dari bulan yang lalu, bahwa hari minggu ini tidak ada acara lembur-lemburan kerjaan. Tapi, setelah melihat sahabatnya yang memelas Rhea tak punya pilihan lain selain membantu Dion.

“Berani bayar berapa lu , Yon?” tanya Rhea basa-basi.

“Terserah yang lu minta, yang penting ni project jadi. Kurang ME, anggaran biaya, anggaran pelaksanaan, Gambar 3D sama site plan-nya udah gue buat. Jadi lu buat ME, anggaran biaya sama anggaran pelaksanaan.” Cerocos Dion panjang lebar.

“Gile lu, nah elu dapet kerjaan apaan?”

“Gue capek mau tidur bentar disini. Lu buat dulu lima jam kedepan. Nanti gue lanjut lagi. Pliss ya Re...” Dion mengangkat kedua tangannya keatas sambil memasang muka yang memelas.

“Ngapain lu?gue gak bakal nembak lu.. bedain gestur buat minta ampun sama minta tolong aja gak bisa lu..” Dion ngeloyor pergi ke ruang tengah kos Rhea sambil merebahkan tubuhnya yang dua hari ini tak pernah tidur karena lembur pekerjaan proyek-proyek kantornya , maklum saja Dion diterima di Perusahaan Konsultan perencanaan terkemuka di ibukota.

“Gambarnya mana, Yon?” Dion meletakkan map dan tasnya di meja dekat ia merebahkan tubuh di sofa. Tanpa berucap Rhea langsung tahu dimana ia meletakkan gambarnya. Tanpa berpikir panjang Rhea mengambil Leptop dikamarnya.

“Keker badanya aja lu Yon, Meleknya susah...” sindir Rhea.

“Gue denger Re, gue potong gaji lu kalo nrocos lagi...”

Rhea diam mendengar ucapan Dion. Rhea kembali menyibukkan diri oleh pekerjaan rutinnya. Dia sedikit lebih tau dibanding teman-teman seangkatanya tentang pekerjaan yang akan dijalani mereka, karena ia sering mendapatkan job dadakan dari dosen maupun sahabatnya, Dion.  Sudah empat setengah tahun ia kuliah di UI tanpa menyandang gelar sarjana karena kesibukan pekerjaan yang menuntut profesionalitas.  Kadang ia harus pergi keluar kota  untuk meninjau pelaksanaan pekerjaan apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Banyak teman-temannya yang iri dengan nasib Rhea yang semujur itu.

Sudah beberapa menit berlalu, suara dengkuran Dion makin kental terdengar. Dan Rhea masih sibuk dengan harga-harga yang tertera di layar leptopnya. Dari harga pasir sampai harga engsel pintu Rhea hitung matang-matang. Volume nya pun ia hitung dengan cermat. Tak terasa detik, menit , jam berlalu. Hampir lima jam Rhea sibuk mengotak-atik program excelnya. Terdengar lagu Colbie Caillat-Fallin for you dari saku celana panjang Dion.

I’ve been spending all my time...Just thinking about you... I don’t know where to.. I think I’m falling for you..

Dion meraba saku celananya, dengan mata sayu ia mematikan alarm HP nya. Sesekali ia mengolet untuk merengangkan otot-otot tubuhnya. Didapatinya Rhea yang sedang sibuk menghitung angka-angka yang berjumlah milyaran rupiah itu. Dion kembali ke dunia realitasnya, dunia yang menginginkan keahlianya dengan cepat dan tepat sasaran. Dion menghela nafas panjang, ia masih ingin menjejakkan kakinya di dalam dunia khayal tanpa batasnya. Menelusuri lorong-lorong penuh tanda tanya yang selalu ia datangi ke dalam mimpinya.

“Udah selesai Re?” tanya Dion membuka percakapan.

“Gila lu, kerjaan gini banyaknya suruh selesai cepet.. gue masih mahasiswa tingkat akhir Yon, bukan profesional kaya elu...” kata Rhea dengan nada protes.

“Entar juga lu  ditutut profesional Re... kelarin aja kerjaannya. Oh ya, di tas gue ada cemilan tuh. Makan aja.” Dion menunjukkan tas yang ada disamping Rhea duduk.

“Udah gue libas tuntas.. tapi masih laper Yon..” Rhea menatap wajah Dion sambil senyum cekikikan. Sudah menjadi kebiasaan Rhea yang doyan makan untuk memburu harta karun berupa ‘makanan’ di tas Dion yang kayak tas orang mau naik gunung itu.

“Luar biadab lu Re, itu makanan kan gue siapin buat kita berdua.. bener-bener jelmaannya si Lufi lu Re...”

“Idih... masa gue disamain sama manusia karet...” Dion tertawa melihat tingkah laku sahabatnya yang satu itu. Dion dan Rhea memang suka nonton kartun ‘One Piece’ serial kartun televisi yang biasa ditanyangkan setiap hari minggu itu. Si Lufi merupakan tokoh utama dari serial kartun tersebut, sekaligus pemimpin dari tim bajak lautnya. Tubuhnya yang seperti karet membuat Dion dan Rhea geli sendiri kalau menontonnya.

“Re, gue laper nih.. makan siang dulu yuk...” Rhea mendengar sinyal orang kelaparan di sampingnya.

“Dari tadi kek..yuk..capcus...Soto Bang Karyo.”

***

Sebuah mobil sedan silver memasuki kawasan bandara soekarno-hatta. Seorang bertubuh tinggi , berkulit putih keluar dari pintu penerbangan domestik. Pria itu menenteng tas ranselnya dan sebuah koper kecil tempat barang-barangnya. Dilihatnya papan-papan nama yang menyebutkan namanya. Bapak Edo.  Pria itu berjalan menghampiri bapak paruh baya yang sedari tadi menungguinya.

Bapak Edo, saking Semarang?” tanya Pak Adi, nama pria paruh baya yang menunggui Edo.

Nggih Pak.. kulo Edo saking Semarang.” Tanpa sungkan Pak Adi membawakan koper Edo dan mengantarkanya menuju mobil yang sudah ia siapkan di depan bandara. Edo masuk kedalam mobil sedan silver itu, di jok belakang terdapat sebuah bantal kodok yang terselip dibawah. Edo teringat pada sosok perempuan lucu yang selalu hadir dimimpinya. Tifa. Mungkin sekarang ia sudah besar. Gumam Edo.

“Bapak sudah ditunggu Ibu di kantor. Jadi, saya yang bawa barang-barang bapak ke rumah. Itu pesan dari Ibu.” Kata Pak Adi dengan logat jawanya yang masih kental.

“Oh, Iya Pak...Maturnuwun..”

Jalan Jakarta terasa begitu padat berbeda dengan Semarang yang selalu lenggang. Edo menarik nafas dalam-dalam berharap udara Semarang masih tersisa di mobil ini. Di sepanjang perjalanan Edo hanya memandang ke arah luar jendela, berharap ada sebuah inspirasi yang mampu mengisi kekosongan didalam pikirannya.

Mobil sedan silver itu kini telah sampai di depan kantor PT. Cipta Karya Perusahaan konsultan ternama diibukota. Edo melangkah keluar dari mobil dan menuju lift yang terletak di pojok kanan dalam gedung. Seorang satpam memandang Edo heran dan kagum.

“Mas nya, Dude Herlino ya?” tanya satpam yang takjub melihat Edo.

“Bukan mas, salah orang...” Edo tertawa cekikikan mendengar perkataan pak satpam itu. Cukup lama Edo menunggu lift nya terbuka.  Tak sampai lima menit ia sudah sampai di kantor Tante Wijaya. Kantor dari PT. Cipta Karya yang dimiliki oleh adik dari almarhum ayahnya. Edo mulai mengetuk pintu, berharap Tante Wijaya di dalam kantor. Suara langkah kaki mendekati ujung pintu. Seorang wanita paruh baya yang masih ayu , membukakan pintu.

“Eh, Sinang Edo.. Sudah gedhe ya sekarang...” Tante Wijaya memegang kedua lengan Edo sambil mempersilahkannya masuk.

“Iya, Tante... masa mau kecil terus.” Canda Edo.

“Iya, ya.. Tifa sekarang juga udah besar lho Do... kalian kan sering main bareng dulu pas tante masih di Semarang...” Tante tersenyum membayangkan Edo dan Tifa anaknya dulu bermain bersama. “Oh iya Do, berhubung tante buka cabang didaerah Jakarta Selatan jadi kamu yang hendel disana.” Tambah Tante Wijaya.

“Saya sendirian tante?”

“Nggak Do, nanti tante suruh anak buah tante nemenin kamu.” Edo hanya diam sesekali mengganguk tanda ia mengerti.

***





̿

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kopi Gudeg Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting