Dari sudut kamar terlihat
beberapa rak buku yang ditata sedemikian apik. Dari arah jendela terlihat
siluet cahaya matahari yang tenggelam dari arah jendela yang menonjolkan kesan
tentram dan damai. Kamar yang berukuran 3,5 X 3,5 meter itu mampu menghipnotis
orang yang akan masuk ke dalamnya untuk sejenak menikmati suasana didalam kamar
maupun di balkon depan kamar.
Dari sudut yang berbeda terlihat
seorang perempuan berambut panjang yang sedang membaca majalah di sofa dekat
jendela kamarnya. Sesekali perempuan itu memandang ke arah jendela. Di
dapatinya sepasang burung gereja bermain diatas pagar teras kamarnya.
Burung-burung itu seperti sedang membicarakan sesuatu. Entah apa yang sedang
mereka bicarakan, mungkin tentang santapan sarapan, hangout hari minggu yang
cerah ini atau tentang suasana alam yang perlahan hilang oleh segerombolan orang yang menjejaki
wilayah mereka. Perempuan itu tersenyum simpul dengan pemikiran-pemikiran
konyol yang dibuatnya sendiri. Sejurus kemudian perlahan seseorang mengetuk pintu
kamarnya. Perempuan yang bernama Rhea itu langsung sigap menutup majalah yang
sedang ia baca, dan berjalan menuju pintu kamarnya.
Terlihat seorang pria kekar ,
bertubuh sawo matang dan berwajah sanggar berdiri di depan pintu menunggu
seorang Rhea membukakan pintu untuknya.
Pintu itu perlahan dibuka, sontak Rhea kaget melihat sesosok kekar
dihadapannya. Dion.
“Dion.. Ada apa weekend gini lu
kesini?” Rhea menggaruk rambutnya yang
terasa tak gatal.
“Ada kerjaan bejubel nih Re, gila aja besok selasa kudu jadi. Mana desain belum jadi, orangnya riwil lagi.”
Dion masih berdiri di depan
pintu membawa map gambar projek yang ia desain semalam suntuk di tangan
kanannya, dan tas punggung eiger yang berisi leptop dan makanan ringan
didalamnya dan berharap Rhea mau
membantunya. Rhea masih dengan pikiran-pikiranya tentang hari minggu yang telah
ia rancang dari bulan yang lalu, bahwa hari minggu ini tidak ada acara
lembur-lemburan kerjaan. Tapi, setelah melihat sahabatnya yang memelas Rhea tak
punya pilihan lain selain membantu Dion.
“Berani bayar berapa lu , Yon?”
tanya Rhea basa-basi.
“Terserah yang lu minta, yang
penting ni project jadi. Kurang ME,
anggaran biaya, anggaran pelaksanaan, Gambar 3D sama site plan-nya udah gue buat. Jadi lu buat ME, anggaran biaya sama anggaran pelaksanaan.” Cerocos Dion panjang
lebar.
“Gile lu, nah elu dapet kerjaan
apaan?”
“Gue capek mau tidur bentar
disini. Lu buat dulu lima jam kedepan. Nanti gue lanjut lagi. Pliss ya Re...”
Dion mengangkat kedua tangannya keatas sambil memasang muka yang memelas.
“Ngapain lu?gue gak bakal nembak
lu.. bedain gestur buat minta ampun
sama minta tolong aja gak bisa lu..” Dion ngeloyor pergi ke ruang tengah kos
Rhea sambil merebahkan tubuhnya yang dua hari ini tak pernah tidur karena
lembur pekerjaan proyek-proyek kantornya , maklum saja Dion diterima di
Perusahaan Konsultan perencanaan terkemuka di ibukota.
“Gambarnya mana, Yon?” Dion
meletakkan map dan tasnya di meja dekat ia merebahkan tubuh di sofa. Tanpa
berucap Rhea langsung tahu dimana ia meletakkan gambarnya. Tanpa berpikir
panjang Rhea mengambil Leptop dikamarnya.
“Keker badanya aja lu Yon,
Meleknya susah...” sindir Rhea.
“Gue denger Re, gue potong gaji
lu kalo nrocos lagi...”
Rhea diam mendengar ucapan Dion.
Rhea kembali menyibukkan diri oleh pekerjaan rutinnya. Dia sedikit lebih tau
dibanding teman-teman seangkatanya tentang pekerjaan yang akan dijalani mereka,
karena ia sering mendapatkan job dadakan dari dosen maupun sahabatnya, Dion. Sudah empat setengah tahun ia kuliah di UI
tanpa menyandang gelar sarjana karena kesibukan pekerjaan yang menuntut
profesionalitas. Kadang ia harus pergi
keluar kota untuk meninjau pelaksanaan
pekerjaan apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Banyak teman-temannya yang
iri dengan nasib Rhea yang semujur itu.
Sudah beberapa menit berlalu,
suara dengkuran Dion makin kental terdengar. Dan Rhea masih sibuk dengan
harga-harga yang tertera di layar leptopnya. Dari harga pasir sampai harga
engsel pintu Rhea hitung matang-matang. Volume nya pun ia hitung dengan cermat.
Tak terasa detik, menit , jam berlalu. Hampir lima jam Rhea sibuk mengotak-atik
program excelnya. Terdengar lagu Colbie Caillat-Fallin for you dari saku celana
panjang Dion.
I’ve been spending all my
time...Just thinking about you... I don’t know where to.. I think I’m falling
for you..
Dion meraba saku celananya,
dengan mata sayu ia mematikan alarm HP nya. Sesekali ia mengolet untuk merengangkan otot-otot tubuhnya. Didapatinya Rhea
yang sedang sibuk menghitung angka-angka yang berjumlah milyaran rupiah itu.
Dion kembali ke dunia realitasnya, dunia yang menginginkan keahlianya dengan
cepat dan tepat sasaran. Dion menghela nafas panjang, ia masih ingin
menjejakkan kakinya di dalam dunia khayal tanpa batasnya. Menelusuri
lorong-lorong penuh tanda tanya yang selalu ia datangi ke dalam mimpinya.
“Udah selesai Re?” tanya Dion
membuka percakapan.
“Gila lu, kerjaan gini banyaknya
suruh selesai cepet.. gue masih mahasiswa tingkat akhir Yon, bukan profesional
kaya elu...” kata Rhea dengan nada protes.
“Entar juga lu ditutut profesional Re... kelarin aja
kerjaannya. Oh ya, di tas gue ada cemilan tuh. Makan aja.” Dion menunjukkan tas
yang ada disamping Rhea duduk.
“Udah gue libas tuntas.. tapi
masih laper Yon..” Rhea menatap wajah Dion sambil senyum cekikikan. Sudah menjadi
kebiasaan Rhea yang doyan makan untuk memburu harta karun berupa ‘makanan’ di
tas Dion yang kayak tas orang mau naik gunung itu.
“Luar biadab lu Re, itu makanan
kan gue siapin buat kita berdua.. bener-bener jelmaannya si Lufi lu Re...”
“Idih... masa gue disamain sama
manusia karet...” Dion tertawa melihat tingkah laku sahabatnya yang satu itu. Dion
dan Rhea memang suka nonton kartun ‘One Piece’ serial kartun televisi yang
biasa ditanyangkan setiap hari minggu itu. Si Lufi merupakan tokoh utama dari
serial kartun tersebut, sekaligus pemimpin dari tim bajak lautnya. Tubuhnya
yang seperti karet membuat Dion dan Rhea geli sendiri kalau menontonnya.
“Re, gue laper nih.. makan siang dulu yuk...”
Rhea mendengar sinyal orang kelaparan di sampingnya.
“Dari tadi kek..yuk..capcus...Soto
Bang Karyo.”
***
Sebuah mobil sedan silver
memasuki kawasan bandara soekarno-hatta. Seorang bertubuh tinggi , berkulit
putih keluar dari pintu penerbangan domestik. Pria itu menenteng tas ranselnya
dan sebuah koper kecil tempat barang-barangnya. Dilihatnya papan-papan nama
yang menyebutkan namanya. Bapak Edo.
Pria itu berjalan menghampiri bapak paruh baya yang sedari tadi
menungguinya.
“Bapak Edo, saking Semarang?” tanya Pak Adi, nama pria paruh baya
yang menunggui Edo.
“Nggih Pak.. kulo Edo saking Semarang.” Tanpa sungkan Pak Adi
membawakan koper Edo dan mengantarkanya menuju mobil yang sudah ia siapkan di
depan bandara. Edo masuk kedalam mobil sedan silver itu, di jok belakang
terdapat sebuah bantal kodok yang terselip dibawah. Edo teringat pada sosok
perempuan lucu yang selalu hadir dimimpinya. Tifa. Mungkin sekarang ia sudah
besar. Gumam Edo.
“Bapak sudah ditunggu Ibu di
kantor. Jadi, saya yang bawa barang-barang bapak ke rumah. Itu pesan dari Ibu.”
Kata Pak Adi dengan logat jawanya yang masih kental.
“Oh, Iya Pak...Maturnuwun..”
Jalan Jakarta terasa begitu padat
berbeda dengan Semarang yang selalu lenggang. Edo menarik nafas dalam-dalam
berharap udara Semarang masih tersisa di mobil ini. Di sepanjang perjalanan Edo
hanya memandang ke arah luar jendela, berharap ada sebuah inspirasi yang mampu
mengisi kekosongan didalam pikirannya.
Mobil sedan silver itu kini telah
sampai di depan kantor PT. Cipta Karya Perusahaan konsultan ternama diibukota.
Edo melangkah keluar dari mobil dan menuju lift yang terletak di pojok kanan
dalam gedung. Seorang satpam memandang Edo heran dan kagum.
“Mas nya, Dude Herlino ya?” tanya
satpam yang takjub melihat Edo.
“Bukan mas, salah orang...” Edo
tertawa cekikikan mendengar perkataan pak satpam itu. Cukup lama Edo menunggu
lift nya terbuka. Tak sampai lima menit
ia sudah sampai di kantor Tante Wijaya. Kantor dari PT. Cipta Karya yang
dimiliki oleh adik dari almarhum ayahnya. Edo mulai mengetuk pintu, berharap
Tante Wijaya di dalam kantor. Suara langkah kaki mendekati ujung pintu. Seorang
wanita paruh baya yang masih ayu ,
membukakan pintu.
“Eh, Sinang Edo.. Sudah gedhe ya
sekarang...” Tante Wijaya memegang kedua lengan Edo sambil mempersilahkannya
masuk.
“Iya, Tante... masa mau kecil
terus.” Canda Edo.
“Iya, ya.. Tifa sekarang juga
udah besar lho Do... kalian kan sering main bareng dulu pas tante masih di
Semarang...” Tante tersenyum membayangkan Edo dan Tifa anaknya dulu bermain
bersama. “Oh iya Do, berhubung tante buka cabang didaerah Jakarta Selatan jadi
kamu yang hendel disana.” Tambah Tante Wijaya.
“Saya sendirian tante?”
“Nggak Do, nanti tante suruh anak
buah tante nemenin kamu.” Edo hanya diam sesekali mengganguk tanda ia mengerti.
̿
0 komentar:
Posting Komentar